Rabu, 01 Juni 2011

Memorable Burhamzah

Profil Prof. Burhamzah

Data diri:
Nama: Prof Dr Burhamzah MBA
Lahir: Watampone, 14 November 1934
Jabatan: Guru Besar Unhas sejak 1 Agustus 1982
Pendidikan :
* S1 di Universitas Indonesia (UI), 1962
* S2 di University if Philipines, 1975
Karier:
* Dosen Universitas Hasanuddin
* Dirut BPD Sulsel
* Komisaris Utama PT Pelindo IV

Prof Burhamzah Wafat
INNALILLAHI wainna ilaihi rojiun. Sulawesi Selatan (Sulsel) kembali kehilangan salah satu tokoh. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Prof Burhamzah MBA, meninggal dunia di Rumah Sakit Stellah Maris, Makassar, Selasa (19/1).

Ekonom senior ini juga pernah menjabat Direktur Utama (Dirut) Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulsel yang kini menjadi Bank Sulsel. Almarhum juga pernah menjadi Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV Makassar.
Di kalangan akademisi, khususnya di Fakultas Ekonomi Unhas, Burhamzah dikenal sebagai sosok yang tegas dan disiplin namun juga humanis.
Semasa mudanya, Burhamzah juga dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang kritis dan keras dalam melawan sejumlah kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Salah satu putrinya, Oky Deviana, mengikuti jejak Burhamzah sebagai dosen. Oky tercatat sebagai dosen di Fakultas Hukum Unhas dan sudah melalui jenjang pendidikan doktor (S3).
Kepala Humas Unhas, Dahlan Abubakar, mengatakan, jenazah disemayamkan di rumah duka di Kompleks Perumahan Dosen Unhas Baraya, Jl Kandea, Makassar, dan akan dimakamkan, Rabu (20/1) hari ini.
Semasa Rektor Unhas dijabat Prof Dr Achmad Amiruddin, Burhamzah yang sama-sama Amiruddin berasal dari Wajo kerap "berseberangan" termasuk ketika Burhamzah ditugaskan menjabat Dirut BPD.

Almarhum meninggal akibat kanker Prostat. Jenazah rencananya akan di makamkan usai salat lohor di Pemakaman Umum Panaikang.
Pria klahiran Watampone, 14 November 1934 tersebut meninggalkan tujuh anak dan 18 cucu. Sebelumnya pada 27 Maret 2009 lalu, istri Burhamzah, Rosdianah Burhamzah, meninggal dunia di Rumah Sakit Akademis Jaury Makassar. Rosdianah meninggal dunia dalam usia 62 tahun. Almarhumah meninggal diduga akibat penyakit jantung dan diabetes yang dideritanya.
Mantan mahasiswa Prof Dr Burhamzah, MBA di Fakultas Ekonomi Unhas, Hamid Paddu, yang juga ekonom Unhas mengaku almarhum merupakan sosok cendekiawan yang konsisten, tegas, dan selalu berpihak pada kebenaran dan berani dalam mempertahankan kebenaran.
"Beliua seorang guru yang sungguh-sunguh merupakan panutan baik di fakultas ekonomi, di universitas, maupun di masyarakat Sulsel dan nasional," papar kandidat doktor di bidang ilmu ekonomi Unhas tersebut.
Hamid menambahkan bahwa buah pemikiran Burhamzah selalu berpihak dan melindungi rakyat serta berpikir reformis. "Beliau sangat dekat dengan pergerakan kemahasiswaan," kata Hamid yang juga aktivis mahasiswa di tahun 1970-an hingga 1980-an.
"Sunguh, kami kehilangan cendikiawan sejati dan tokoh panutan. Selamat jalan guru kami doa kami menyerati perjalananmu menghadap sang khalik, semoga mendapat tempat disisi sang Pencipta," kata Hamid.(fik)


(Sumber: Tribun)
 

Burhamzah dalam Kenangan


Mengepak Sayap Penuhi Panggilan Ilahi, In Memori Prof Drs Burhamzah MBA

Ada satu hal yang saya tidak dapat lupakan sampai saat ini, yakni ketika menjelaskan apa yang dimaksud dengan profesional. Ia memberi batasan yang sangat sederhana bahwa apa saja yang dikerjakan dengan penuh ketekunan, kesungguhan, kejujuran, dedikatif, dan mau belajar dari pengalaman terhadap apa yang salah dan benar dari waktu ke waktu

Bila saatnya tiba, maka tak ada sesuatu kekuatan pun yang mampu membendungnya.

Itulah bukti kemahakuasaan dan kemahaakbarannya. Selasa, menjelang larut malam, saya menerima SMS dari salah seorang senior yang menyampaikan bahwa ia dengan tenang telah memenuhi panggilan Ilahi menuju keabadian tiada akhir.
Saya tercenung sesaat, bukan karena tak percaya tetapi malah menenebalkan endapan kesadaran saya. Betapa kehidupan di dunia ini tak lebih dari sebuah titik penggalan yang sesungguhnya nyaris tidak punya makna apa-apa dibandingkan dengan kodrat keabadian yang telah ia tetapkan bagi seluruh ciptaan-Nya.
Namun, penggalan itu sesungguhnya adalah sebuah peluang yang telah diturunkan oleh-Nya sebagai suatu kemurahan, kerahmanan, dan kerahiman kepada seluruh umat manusia untuk berbuat kebaikan menempa sebuah kunci untuk membuka pintu surga abadi yang telah disiapkan oleh-Nya.
Ingatan saya kembali surut menerobos lorong waktu kurang lebih empat puluh tahun silam. Kala itu, saya mulai menapak anak tangga masa remaja. Di media setempat yang waktu itu hanya diramaikan oleh dua media cetak, yakni Harian Pedoman Rakyat dan Harian Marhaen, serta media radio satu-satunya RRI Nusantara IV Makassar.
Ia sebagai sosok seorang intelektual, sekaligus sebagai teknorat muda banyak disebut bersama-sama dengan kawan seangkatan lainnya seperti Zainul Jasni, Zainuddin Dg Maupa, Husain Ibrahim, Ibrahim Manwan, Muh Said, dan beberapa orang lainnya, khususnya di dalam agenda kegiatan dan pemikiran Pembangunan Sulawesi Selatan.
Sejak itulah perhatian saya mulai tertarik kepada sosok yang satu ini. Saya sangat beruntung karena tak berapa lama kemudian, dapat bertemu langsung dengan dia karena menjadi pengajar mata kuliah yang saya ikuti, yakni: Ilmu Manajemen di alamamater tercinta, Universitas Hasanuddin.
Pagi itu, seorang dosen muda sembari mengepit sebuah buku teks tebal berwarna hitam, berjalan memasuki ruang kuliah. Ia tampak dingin dan datar-datar saja, bahkan nyaris cuek menyambut salam kami.
Tanpa memperkenalkan diri, ia menunjukkan buku teks itu kepada kami, yang kemudian saya kenali adalah sebuah buku teks manajemen yang dikarang oleh Koonz; Principle of Management. "Ini yang saya akan pakai sebagai rujukan. Kalian bacalah nanti, ada di perpustakaan," ucapnya.
Dan diletakkannya buku itu di ujung meja yang ada di depan kelas. Kuliahnya langsung masuk ke materi, tanpa memperkenalkan latar belakang pribadinya seperti beberapa dosen-dosen sekarang yang tidak jarang lebih banyak menyampaikan ketenarannya ketimbang materi kuliahnya sendiri. Bahkan dalam setiap mengisi jam kuliah, selalu didominasi materi yang menyangkut pujian diri saja.
Sesekali ia balik menulis satu dua kata ke papan tulis hanya untuk menekankan substansi yang disampaikannya kepada kami mahasiswanya. Dengan aksen daerah Bone yang kental, ia menyajikan contoh-contoh yang aktual dan relevan serta mudah kami cerna semua. Kuliah usai tanpa kami sadari, dan tanpa banyak yang kami dapat kutip dari papan tulis yang nyaris kosong.
Ia juga tidak pernah membuka buku referensi yang dibawanya selama kuliah berlangsung, layaknya semua isi buku telah ter-copy-paste dalam benaknya. Ia keluar dari ruang kuliah, sedatar dan sedingin ketika ia datang. Ia hanya mengucapkan sampai minggu depan tanpa menoleh kepada kami.

Dosen Faforit
Saya sendiri bersama dengan beberapa teman kelas merasa heran, mengapa perhatian dan minat kami mengikuti kuliahnya begitu antusias, sementara ia seolah-olah menyepelekan kami, dan bahkan setiap ia memberi kuliah, kelas menjadi sangat tenang. Mungkin karena ia memiliki pesona kewibawaan, dan mampu membangunnya secara kontekstual.
Setiap usai kuliah, saya selalu berusaha mengendapkan substansi yang telah disampaikannya kepada kami, dan sungguh sangat ampuh dalam memahami buku tebal yang telah ditunjukkannya kepada kami. Sistematika materi kuliahnya mengikuti alur sehingga selama satu smester ia menjadi dosen faforit kami.
Ada satu hal yang saya tidak dapat lupakan sampai saat ini, yakni ketika menjelaskan apa yang dimaksud dengan profesional. Ia memberi batasan yang sangat sederhana bahwa apa saja yang dikerjakan dengan penuh ketekunan, kesungguhan, kejujuran, dedikatif, dan mau belajar dari pengalaman terhadap apa yang salah dan benar dari waktu ke waktu.
Maka itulah yang disebut profesional. Sekalipun Anda hanya seorang pemulung atau tukang batu. Anda boleh saja sebagai seorang ahli atau pakar, tetapi kalau tidak memiliki nurani keprofesionalan atau sense of crisis maka sia-sia saja, karena tidak dapat memberi manfaat kepada orang lain. Kalau seseorang mampu menguasai bidangnya, belum tentu ia profesional.
Bisa saja tidak lebih dari seorang tukang, meskipun mereka adalah seorang spesialis yang hebat dan unggul. Seorang profesional harus memiliki peradaban berbagi atau sharing. Saya tidak tahu, apakah waktu itu beliau sudah memperkiraan bahwa suatu saat akan ada yang disebut tunjangan profesional di dalam dunia pendidikan.
Meskipun kemudian saya berhasil masuk dalam jajaran yang se-profesi dengan dia, tetapi tidak akan mampu melebihi keprofesionalannya (menurut batasan yang telah disampaikannya). Saya masih ingat benar, ketika di suatu acara pengukuhan guru besar di Unhas, ketika saya memegang jabatan sebagai rektor, saya memberi pengantar di depan para undangan.
Hadirin semua terhenyak, dan bahkan ada yang tampak gelisah, ketika saya memulai pengantar dengan mengatakan: "Pagi ini kita semua hadir di tempat yang mulia ini adalah untuk memberi penghormatan terhadap suatu keberhasilan, meskipun di antara kita yang hadir di sini ada seseorang yang saya nilai gagal yakni beliau" (dengan menyebut namanya).
Hadirin tertegun, terhenyak tanpa suara, bahkan tegang. Beliau pun saya lihat spontan menyorot dengan tatapan tajam ke arah saya."Beliau sebagai pendidik saya nilai gagal karena tidak berhasil mengubah saya sebagai muridnya menjadi lebih baik dari dirinya," lanjut saya. Ruangan riuh dan beliau pun hanya tersenyum sejuk, bahkan terkesan sangat rendah hati (humble) saat itu.
Dalam sosoknya yang berkesan kaku dan tidak sedikit dinilai rancu, ia termasuk sulit sekali dimasuki namun bila berhasil mendekatinya, pasti akan merebak rasa tidak akan kehilangan dirinya. Saat itu ia akan menjadi seorang guru, dan sahabat yang sangat menghargai.
Saya berhasil dekat dengannya melalui ilmu yang diajarkannya sendiri beberapa puluh tahun yang lalu. Sentuhlah seseorang dari sudut potensi semulajadinya atau karakter keinsaniaan dan keadabannya. Begitulah salah satu substansi kuliah yang pernah disampaikannya kepada saya ketika masih menjadi mahasiswanya.
Saya pun tumbuh menjadi salah seorang muridnya yang ia hargai. Di lapangan tenis, di forum rapat eksekutif, dan forum akademik ia bisa bicara lepas dan transparan, bahkan kadang-kadang cukup keras, dan sangat kokoh dalam berargumentasi. Ia memang sangat konsisten menurut saya, namun penuh dengan kehangatan.
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih memegang jabatan rektor, ia tiba-tiba muncul di ruang kerja saya. "Lama tak jumpa, maklum kita sama-sama sibuk, lagian saya baru pulih dari gangguan kesehatan," demikian sapanya kepada saya sambil cipika-cipiki. Dengan santunnya ia menyampaikan beberapa saran kepada saya, disertai dukungan semangat, dan saya pun mendengarkan penuh takzim.
Saya sadar bahwa yang mengantarkannya ke tempat saya pagi itu tidak lain dari sebuah keikhlasan. Percakapan dengannya tidak terasa sudah hampir satu jam. Ketika akan beranjak pulang, saya basa-basi menanyakan apa masih ada waktu mengurus hobinya memelihara "jago"_beliau hobi berat dalam memelihara ayam jago.
Spontan ia duduk kembali dan kami pun larut dalam obrolan yang lebih panjang lagi. Beliau tampak sangat bahagia, dan lebih-lebih saya sendiri. Hanya sikap itulah yang saya bisa abdikan kepada guru saya itu, yang telah mengajari, mendidik, dan memberi contoh
kepada saya, untuk melakukan sesuatu dengan keikhlasan, dedikatif, dan konsisten, yang ia sebut sebagai profesionalisme. Dan, rupanya itulah interaksi intensif saya yang terakhir dengan beliau.Setelah itu, hanya pertemuan sekilas di beberapa acara yang kami saling hadiri.
Kalau ia belum saatnya Engkau masukkan ke dalam surga Firdausi-Mu, jangan pulalah ia Engkau dekatkan dengan siksaan api neraka-Mu. Maka berikanlah ia ampunan atas segala dosa yang mungkin ia pernah perbuat. Terimalah segala amal ibadahnya. Ia telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk meningkatkan peradaban dan martabat anak-anak generasi pelanjut dan anak-anak didiknya.
Ia adalah pioner dalam pembangunan terkonsepsi daerahnya. Ia banyak menyumbangkan gagasan pembangunan bangsanya secara nasional. Terimalah ibadahnya itu sebagai amal yang tak putus, sebagaimana yang Engkau telah janjikan kepada umat-Mu, dan pada saatnya Engkau izinkan menjadi penghuni surga abadi-Mu. Selamat jalan Professor Burhamzah guru kami yang tercinta.***

Oleh
Radi Gany
Mantan Rektor Unhas
(Sumber: Tribun)

Build Me a Son


General Douglas A. MacArthur
Build me a son, O Lord,
who will be strong enough to know when he is weak,
and brave enough to face him self when he is afraid;
one who will be proud and unbending in honest defeat,
and humble and gentle in victory.
Build me a son whose wishbone will not be
where his backbone should be;
a son who will know Thee- and that
to know himself is the foundation stone of knowledge.
Lead him, I pray, not in the path of ease and comfort,
but under the stress and spur of difficulties and challenge.
Here, let him learn to stand up in the storm;
here, let him team compassion for those who fall.
Build me a son whose heart will be clear, whose goals will be high;
a son who will master himself before he seeks to master other men;
one who will learn to laugh, yet never forget how to weep;
one who will reach into the future, yet never forget the past.
And after all these things are his,
add, I pray, enough of a sense of humor,
so that he may always be serious,
yet never take himself too seriously.
Give him humility, so that he may always remember
the simplicity of true greatness,
the open mind of true wisdom,
the meekness of true strength.
Then I, his father, will dare to whisper,
"I have not lived in vain."

Puisi Jenderal Douglas Mac Arthur : Doa Seorang Ayah


Pada masa perang dunia kedua, tepatnya bulan Mei Tahun 1952, seorang jenderal kenamaan, Douglas Mac Arthur, menullis sebuah puisi untuk putra tercintanya yang saat itu baru berusia 14 tahun. Puisi tersebut mencerminkan harapan seorang ayah kepada anaknya. Ia memberi sang anak puisi indah yang berjudul "Doa untuk Putraku" Inilah isi puisi tersebut:

Doa untuk Putraku


Tuhanku...

Bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya.
Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan.
Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan.
Tetap Jujur dan rendah hati dalam kemenangan.

Bentuklah puteraku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya
dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja.
Seorang Putera yang sadar bahwa
mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan.


Tuhanku...

Aku mohon, janganlah pimpin puteraku di jalan yang mudah dan lunak.
Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan.

Biarkan puteraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar
untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya.

Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi,
sanggup memimpin dirinya sendiri,
sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain.


Berikanlah hamba seorang putra
yang mengerti makna tawa ceria
tanpa melupakan makna tangis duka.

Putera yang berhasrat
Untuk menggapai masa depan yang cerah
namun tak pernah melupakan masa lampau.

Dan, setelah semua menjadi miliknya...
Berikan dia cukup Kejenakaan
sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap mampu menikmati hidupnya.


Tuhanku...

Berilah ia kerendahan hati...
Agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki...
Pada sumber kearifan, kelemahlembutan, dan kekuatan yang sempurna...
Dan, pada akhirnya bila semua itu terwujud,
hamba, ayahnya, dengan berani berkata "hidupku tidaklah sia-sia"


Puisi yang ditulis oleh Jenderal Douglas MacArthur tersebut merupakan sebuah puisi yang luar biasa. Puisi itu adalah sebuah cermin seorang ayah yang mengharapkan anaknya kelak mampu menjadi manusia yang ber-Tuhan sekaligus mampu menjadi manusia yang tegar, tidak cengeng, tidak manja, dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.

Seperti contoh sepenggal puisi di atas yg berbunyi: "Janganlah pimpin puteraku di jalan yang mudah dan lunak, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan." Puisi ini menunjukkan bahwa sang jenderal sadar tidak ada jalan yang rata untuk kehidupan sukses yang berkualitas.

Seperti kata mutiara yang tidak bosan saya ucapkan: "Kalau Anda lunak pada diri sendiri, kehidupan akan keras terhadap Anda. Namun, kalau Anda keras pada diri sendiri, maka kehidupan akan lunak terhadap Anda."

Untuk itu, jangan kompromi atau lunak pada sikap kita yang destruktif, merusak, dan cenderung melemahkan. Maka, senantiasalah belajar bersikap tegas dan keras dalam membangun karakter yang konstruktif, membangun, demi menciptakan kehidupan sukses yang gemilang, hidup penuh kebahagiaan!!