Mengepak Sayap Penuhi Panggilan Ilahi, In Memori Prof Drs Burhamzah MBA
Ada satu hal yang saya tidak dapat lupakan sampai saat ini, yakni ketika menjelaskan apa yang dimaksud dengan profesional. Ia memberi batasan yang sangat sederhana bahwa apa saja yang dikerjakan dengan penuh ketekunan, kesungguhan, kejujuran, dedikatif, dan mau belajar dari pengalaman terhadap apa yang salah dan benar dari waktu ke waktu
Bila saatnya tiba, maka tak ada sesuatu kekuatan pun yang mampu membendungnya.
Itulah bukti kemahakuasaan dan kemahaakbarannya. Selasa, menjelang larut malam, saya menerima SMS dari salah seorang senior yang menyampaikan bahwa ia dengan tenang telah memenuhi panggilan Ilahi menuju keabadian tiada akhir.
Saya tercenung sesaat, bukan karena tak percaya tetapi malah menenebalkan endapan kesadaran saya. Betapa kehidupan di dunia ini tak lebih dari sebuah titik penggalan yang sesungguhnya nyaris tidak punya makna apa-apa dibandingkan dengan kodrat keabadian yang telah ia tetapkan bagi seluruh ciptaan-Nya.
Namun, penggalan itu sesungguhnya adalah sebuah peluang yang telah diturunkan oleh-Nya sebagai suatu kemurahan, kerahmanan, dan kerahiman kepada seluruh umat manusia untuk berbuat kebaikan menempa sebuah kunci untuk membuka pintu surga abadi yang telah disiapkan oleh-Nya.
Ingatan saya kembali surut menerobos lorong waktu kurang lebih empat puluh tahun silam. Kala itu, saya mulai menapak anak tangga masa remaja. Di media setempat yang waktu itu hanya diramaikan oleh dua media cetak, yakni Harian Pedoman Rakyat dan Harian Marhaen, serta media radio satu-satunya RRI Nusantara IV Makassar.
Ia sebagai sosok seorang intelektual, sekaligus sebagai teknorat muda banyak disebut bersama-sama dengan kawan seangkatan lainnya seperti Zainul Jasni, Zainuddin Dg Maupa, Husain Ibrahim, Ibrahim Manwan, Muh Said, dan beberapa orang lainnya, khususnya di dalam agenda kegiatan dan pemikiran Pembangunan Sulawesi Selatan.
Sejak itulah perhatian saya mulai tertarik kepada sosok yang satu ini. Saya sangat beruntung karena tak berapa lama kemudian, dapat bertemu langsung dengan dia karena menjadi pengajar mata kuliah yang saya ikuti, yakni: Ilmu Manajemen di alamamater tercinta, Universitas Hasanuddin.
Pagi itu, seorang dosen muda sembari mengepit sebuah buku teks tebal berwarna hitam, berjalan memasuki ruang kuliah. Ia tampak dingin dan datar-datar saja, bahkan nyaris cuek menyambut salam kami.
Tanpa memperkenalkan diri, ia menunjukkan buku teks itu kepada kami, yang kemudian saya kenali adalah sebuah buku teks manajemen yang dikarang oleh Koonz; Principle of Management. "Ini yang saya akan pakai sebagai rujukan. Kalian bacalah nanti, ada di perpustakaan," ucapnya.
Dan diletakkannya buku itu di ujung meja yang ada di depan kelas. Kuliahnya langsung masuk ke materi, tanpa memperkenalkan latar belakang pribadinya seperti beberapa dosen-dosen sekarang yang tidak jarang lebih banyak menyampaikan ketenarannya ketimbang materi kuliahnya sendiri. Bahkan dalam setiap mengisi jam kuliah, selalu didominasi materi yang menyangkut pujian diri saja.
Sesekali ia balik menulis satu dua kata ke papan tulis hanya untuk menekankan substansi yang disampaikannya kepada kami mahasiswanya. Dengan aksen daerah Bone yang kental, ia menyajikan contoh-contoh yang aktual dan relevan serta mudah kami cerna semua. Kuliah usai tanpa kami sadari, dan tanpa banyak yang kami dapat kutip dari papan tulis yang nyaris kosong.
Ia juga tidak pernah membuka buku referensi yang dibawanya selama kuliah berlangsung, layaknya semua isi buku telah ter-copy-paste dalam benaknya. Ia keluar dari ruang kuliah, sedatar dan sedingin ketika ia datang. Ia hanya mengucapkan sampai minggu depan tanpa menoleh kepada kami.
Dosen Faforit
Saya sendiri bersama dengan beberapa teman kelas merasa heran, mengapa perhatian dan minat kami mengikuti kuliahnya begitu antusias, sementara ia seolah-olah menyepelekan kami, dan bahkan setiap ia memberi kuliah, kelas menjadi sangat tenang. Mungkin karena ia memiliki pesona kewibawaan, dan mampu membangunnya secara kontekstual.
Setiap usai kuliah, saya selalu berusaha mengendapkan substansi yang telah disampaikannya kepada kami, dan sungguh sangat ampuh dalam memahami buku tebal yang telah ditunjukkannya kepada kami. Sistematika materi kuliahnya mengikuti alur sehingga selama satu smester ia menjadi dosen faforit kami.
Ada satu hal yang saya tidak dapat lupakan sampai saat ini, yakni ketika menjelaskan apa yang dimaksud dengan profesional. Ia memberi batasan yang sangat sederhana bahwa apa saja yang dikerjakan dengan penuh ketekunan, kesungguhan, kejujuran, dedikatif, dan mau belajar dari pengalaman terhadap apa yang salah dan benar dari waktu ke waktu.
Maka itulah yang disebut profesional. Sekalipun Anda hanya seorang pemulung atau tukang batu. Anda boleh saja sebagai seorang ahli atau pakar, tetapi kalau tidak memiliki nurani keprofesionalan atau sense of crisis maka sia-sia saja, karena tidak dapat memberi manfaat kepada orang lain. Kalau seseorang mampu menguasai bidangnya, belum tentu ia profesional.
Bisa saja tidak lebih dari seorang tukang, meskipun mereka adalah seorang spesialis yang hebat dan unggul. Seorang profesional harus memiliki peradaban berbagi atau sharing. Saya tidak tahu, apakah waktu itu beliau sudah memperkiraan bahwa suatu saat akan ada yang disebut tunjangan profesional di dalam dunia pendidikan.
Meskipun kemudian saya berhasil masuk dalam jajaran yang se-profesi dengan dia, tetapi tidak akan mampu melebihi keprofesionalannya (menurut batasan yang telah disampaikannya). Saya masih ingat benar, ketika di suatu acara pengukuhan guru besar di Unhas, ketika saya memegang jabatan sebagai rektor, saya memberi pengantar di depan para undangan.
Hadirin semua terhenyak, dan bahkan ada yang tampak gelisah, ketika saya memulai pengantar dengan mengatakan: "Pagi ini kita semua hadir di tempat yang mulia ini adalah untuk memberi penghormatan terhadap suatu keberhasilan, meskipun di antara kita yang hadir di sini ada seseorang yang saya nilai gagal yakni beliau" (dengan menyebut namanya).
Hadirin tertegun, terhenyak tanpa suara, bahkan tegang. Beliau pun saya lihat spontan menyorot dengan tatapan tajam ke arah saya."Beliau sebagai pendidik saya nilai gagal karena tidak berhasil mengubah saya sebagai muridnya menjadi lebih baik dari dirinya," lanjut saya. Ruangan riuh dan beliau pun hanya tersenyum sejuk, bahkan terkesan sangat rendah hati (humble) saat itu.
Dalam sosoknya yang berkesan kaku dan tidak sedikit dinilai rancu, ia termasuk sulit sekali dimasuki namun bila berhasil mendekatinya, pasti akan merebak rasa tidak akan kehilangan dirinya. Saat itu ia akan menjadi seorang guru, dan sahabat yang sangat menghargai.
Saya berhasil dekat dengannya melalui ilmu yang diajarkannya sendiri beberapa puluh tahun yang lalu. Sentuhlah seseorang dari sudut potensi semulajadinya atau karakter keinsaniaan dan keadabannya. Begitulah salah satu substansi kuliah yang pernah disampaikannya kepada saya ketika masih menjadi mahasiswanya.
Saya pun tumbuh menjadi salah seorang muridnya yang ia hargai. Di lapangan tenis, di forum rapat eksekutif, dan forum akademik ia bisa bicara lepas dan transparan, bahkan kadang-kadang cukup keras, dan sangat kokoh dalam berargumentasi. Ia memang sangat konsisten menurut saya, namun penuh dengan kehangatan.
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih memegang jabatan rektor, ia tiba-tiba muncul di ruang kerja saya. "Lama tak jumpa, maklum kita sama-sama sibuk, lagian saya baru pulih dari gangguan kesehatan," demikian sapanya kepada saya sambil cipika-cipiki. Dengan santunnya ia menyampaikan beberapa saran kepada saya, disertai dukungan semangat, dan saya pun mendengarkan penuh takzim.
Saya sadar bahwa yang mengantarkannya ke tempat saya pagi itu tidak lain dari sebuah keikhlasan. Percakapan dengannya tidak terasa sudah hampir satu jam. Ketika akan beranjak pulang, saya basa-basi menanyakan apa masih ada waktu mengurus hobinya memelihara "jago"_beliau hobi berat dalam memelihara ayam jago.
Spontan ia duduk kembali dan kami pun larut dalam obrolan yang lebih panjang lagi. Beliau tampak sangat bahagia, dan lebih-lebih saya sendiri. Hanya sikap itulah yang saya bisa abdikan kepada guru saya itu, yang telah mengajari, mendidik, dan memberi contoh
kepada saya, untuk melakukan sesuatu dengan keikhlasan, dedikatif, dan konsisten, yang ia sebut sebagai profesionalisme. Dan, rupanya itulah interaksi intensif saya yang terakhir dengan beliau.Setelah itu, hanya pertemuan sekilas di beberapa acara yang kami saling hadiri.
Kalau ia belum saatnya Engkau masukkan ke dalam surga Firdausi-Mu, jangan pulalah ia Engkau dekatkan dengan siksaan api neraka-Mu. Maka berikanlah ia ampunan atas segala dosa yang mungkin ia pernah perbuat. Terimalah segala amal ibadahnya. Ia telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk meningkatkan peradaban dan martabat anak-anak generasi pelanjut dan anak-anak didiknya.
Ia adalah pioner dalam pembangunan terkonsepsi daerahnya. Ia banyak menyumbangkan gagasan pembangunan bangsanya secara nasional. Terimalah ibadahnya itu sebagai amal yang tak putus, sebagaimana yang Engkau telah janjikan kepada umat-Mu, dan pada saatnya Engkau izinkan menjadi penghuni surga abadi-Mu. Selamat jalan Professor Burhamzah guru kami yang tercinta.***
Oleh
Radi Gany
Mantan Rektor Unhas
(Sumber: Tribun)